Muhammad Dzaky, Santri Seniman Gemar Sastra Qur’an
SUKABUMI, JAWA BARAT — Minatnya terhadap seni, tak menghambat Muhammad Dzaky berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an di eTahfidz, Sukabumi. Justru hal ini menjadi media bagi dirinya dalam mengingat setiap kalam Allah yang terucap dari Rasul-Nya, Nabi Muhammad.
Bagi orang Arab, atau orang yang mempelajari bahasa Arab, Al-Qur’an adalah seni sastra tertinggi yang tak akan ada yang pernah mampu berhasil menandinginya. Alih-alih menghafal, pelajar asal Serang, Banten, itu berusaha memahami keindahan sastra yang ada pada setiap ayat Al-Qur’an.
Usut punya usut, ketertarikannya kepada Al-Qur’an sudah ditanamkan sejak kecil oleh kedua orang tuanya. Takdir menghendakinya lahir dari sepasang guru, orang tua Dzaky sangat mendukungnya untuk menjadi seorang hafiz Al-Qur’an. Tidak cukup sampai di situ, menjadi santri di eTahfidz membuatnya mendapat dukungan lebih banyak dari para orang tua asuh yang juga sangat cinta dengan para penghafal Al-Qur’an.
“Dulu memang sejak kecil sudah didorong orang tua untuk menghafal Al-Qur’an. Kalau dulu ya niat atau tujuan saya memang karena disuruh orang tua. Sekarang, karena sudah lebih banyak belajar tentang agama, jadi saya niatkan menghafal untuk Allah. Di samping itu tetap orang tua jadi motivasi yang besar. Juga buat diri sendiri,” ucap Dzaky dengan masih mengenakan pakaian wisudanya, pada Kamis (27/06/2024), di Pesantren Tahfizh Green Lido (PTGL), Sukabumi.
Mengulas linimasanya hingga kini tuntas menghafal 30 juz, sejak di bangku SD dirinya sudah mampu menghafal 1,5 juz. Lulus SMP, ia berhasil menghafal sebanyak 12 juz. Ia sempat mondok selama 1 tahun di Banten sebelum akhirnya masuk ke eTahfidz. Hingga saat masuk eTahfidz, ia sudah memiliki modal hafalan sebanyak 26 juz.
Meski begitu, saat mulai di eTahfidz, ia tetap harus mengulang hafalan dari awal. Ini sebagai bentuk kesetaraan di antara siswa lain yang mungkin memiliki hafalan yang berbeda-beda, bahkan nol. Bagi Dzaky, mengulang hafalan dari awal justru ia manfaatkan sebagai sarana untuk lebih memperkuat hafalan.
“Al-Quran kan merupakan petunjuk dan pedoman. Jadi menghafal Al-Qur’an bukan tentang tujuan mencari hidup seperti apa, tapi saya menghafal Al-Qur’an supaya hidup ini selalu terarah dan selalu diberi petunjuk. Al-Qur’an membahas bukan hanya mengenai peribadatan tapi semua aspek kehidupan. Jadi Al-Qur’an adalah alat untuk mendasari segala urusan kehidupan. Seperti mungkin kelak saya berkeinginan jadi seniman. Nah Al-Qur’an ini sebagai dasar dan landasan saya dalam menuju itu. Yaitu seniman yang qurani,” ujar Dzaky.
“Bisa jadi nanti mungkin saya berdakwah lewat seni. Spesifiknya adalah seni rupa dan sastra tulis,” lanjutnya.
Tak heran, bahkan sebelum momen kelulusan dari sekolahnya, ia sudah diterima di kampus negeri ternama, Universitas Indonesia dengan jurusan Sastra Arab. Lengkap sudah gelar santri/sastri yang melekat pada dirinya.
Dzaky adalah satu dari sekian lulusan eTahfidz. Ia berhasil tuntas menyerap ilmu yang ada di eTahfidz tak lain berkat dukungan dan kontribusi para orang tua asuh. Melalui program Orang Tua Asuh, Dompet Dhuafa menjembatani bapak/ibu donatur Dompet Dhuafa untuk ikut menjadi orang tua bagi calon-calon penghafal Al-Qur’an dan pemimpin masa depan.
Selain Dzaky, delapan temannya juga sudah berhasil lolos masuk di perguruan tinggi. Di antaranya adalah Muhammad Salman di STEI SEBI jurusan Ekonomi Syariah, Sulaiman Arif di UIN Maulana Malik Ibrahim jurusan Hukum Tata Negara, M. Anwar Muzakki di Universitas Negeri Jakarta jurusan Teknik Mesin, Fauzan Al Ghifari di UIN Syarif Hidayatullah jurusan Dirasah Islamiah, Muhammad Arifin di UIN Syarif Hidayatullah jurusan Sejarah Peradaban Islam, Muhammad Zakri di UIN Syarif Hidayatullah jurusan Ekonomi Syariah, Mhd Radiansyah di Politeknik Negeri Bengkalis jurusan Bisnis Digital, dan Ridho Tri Ansyah di UIN Raden Fatah Palembang jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Tak hanya para siswa, perasaan bahagia atas kelulusan ini juga menyelimuti para orang tua kandung. Mannajai, ayah kandung Dzaky, mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dan ibu yang ikut menjadi orang tua bagi anaknya. Meski tak pernah berjumpa, ia mendoakan segala kebaikan atas orang-orang yang terlibat dalam mendidik anaknya.
“Kebaikan dari bapak/ibu sekalian tak ada nilainya. Kami pun tak akan mampu membalasnya. Yang kami mampu hanya meminta kepada Allah untuk membalasnya. Karena hanya Allah-lah yang tahu seberapa nilainya dan yang mampu membalasnya,” ucap Mannajai seraya mengucap terima kasih kepada para guru, orang tua asuh, serta seluruh pihak yang terlibat. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo